Maros 1953Ir. Soekarno bersama H. A. Mapparessa Dg. Sitaba KaraEng Turikale,para KaraEng Toddo'limayya, Arung/Puwatta Lebbo'tengngae, Gallarang Appaka dan para tokoh politik di Alun-alun Maros
BINGKAI KECIL
SEJARAH MAROS
A.
SEJARAH KLASIK MAROS.
Macknight (1993: 38)
menyebutkan bahwa Raja dan bangsawan seluruh negeri Bugis, Makassar, bahkan
termasuk Mandar dan Toraja di Sulawesi Selatan mengklaim diri mereka punya
garis keturunan dengan Dewa-dewa melalui Tomanurung yang menjadi penguasa
pertama seluruh dinasti yang ada. Mitos
ini terkait dengan pandangan teologis ( theology view ) bahwa Dewata Seuwae 'melahirkan
sejumlah Dewata ( Rewata ), yang merupakan asal usul Tomanurung , yang juga merupakan asal-usul
seluruh penguasa dinasti di semenanjung Sulawesi Selatan. Mitos ini sangat kuat terpercaya dan
tak tergoyahkan. (Kambie, 2003)
Dilihat dari perjalanan
sejarahnya, masyarakat Bugis dikenal sebagai masyarakat yang sangat kuat
berpegang pada kepercayaan lama yang bersumber dari Kitab La Galigo. Meskipun Islam sudah menjadi agama
resmi Masyarakat Bugis namun Kepercayaan-kepercayaan lama itu masih mewarnai
keberislaman mereka. Hal ini
tercermin lewat berbagai ritual dan tradisi yang masih bertahan sampai kini. DGE Hall (Badri Yatim, 1996: 211-212)
mengungkapkan bahwa terlambatnya Islam diterima di Sulawesi Selatan, disebabkan
kuatnya masyarakat Bugis Makassar berpegang pada adat dan kepercayaan lama. Menerima Islam, menurut mereka, akan
berimplikasi pada perubahan budaya yang mendalam. Pada beberapa aspek tertentu,
kepercayaan leluhur Bugis Makassar yang bersumber dari ajaran Sure 'Galigo dapat
pula disebut agama karena menganjurkan penganutnya dan dalam kepercayaan
tersebut terdapat berbagai aturan dan tata cara, yang dilakukan sebagai bentuk
pengabdian dan penghambaan diri terhadap Sang Maha Pencipta ( PatotoE ). (Kambie, 2003: 68).
Seperti halnya Negeri Bugis-Makassar lainnya, Maros
juga mengawali sejarahnya dengan Mitos “Tomanurung” sebagai sebagai pembuktian
social kultur masyarakat tertinggi.
“ Karaeng
LoE Ri Pakere’ ” dipercaya sebagai Tomanurung yang mendasari sejarah Maros. Dalam
periode Lontara’, Karaeng LoE Ri Pakere’
adalah sosok yang pertamakali membentuk system kemasyarakatan dan mengakhiri
periode kegelapan.
Kutipan Lontara’ Marusu’ yang ditulis oleh
Gallarang Tujua Ri Marusu’ dan Imam Marusu’ pada tanggal 14 Muharram 1273
Hijriah :
“ ………. Karaeng LoE Ri Pakere uru Karaeng Ri
Marusu’ iyami nikana Tomanurung kataena niassengi assala’na, areng kalennna,
naiya tongmi anne turung ri Pakere’ riwattunna tauwa ri Marusu’ sikanre juku.
Anjo Wattua taena Karaeng nilangngereka kana-kananna, naturungmi gunturuka
siagang bosia tuju allo tuju bangngi. Nabattumo simbaraka naniya’mo ammenteng
Sao’Raja ri tangngana paranga ri pakere’, naniya’tongmo se’re tau ammempo ri
dallekanna tuka’ sapanaya nabattu ngasemmo tau jaiya angsombai nanapala’mo
anjari karaeng. Naiya tongmi nikana Karaeng LoE ri Pakere’ ……….”
Karaeng Loe ri Pakere’ tampil sebagai pemimpin
yang memperkenalkan otoritas dan eksistensi
negerinya kepada kerajaan-kerajan tetangga ketika menjalin persekutuan dengan
Raja Gowa IX,Daeng Matanre Tumapa’risi’
Kallongna, Raja Bone VI,La Uliyo Bote’e
Matinroe ri Itterung dan Raja Polongbangkeng, Karaeng LoE ri Bajeng.
B. MARUSU’ DALAM
PERJALANAN SEJARAH KERAJAAN – KERAJAAN DI SULAWESI SELATAN.
Sebahagian besar Raja-Raja dan Bangsawan di
Sulawesi Selatan adalah keturunan Raja Maros (Marusu’), termasuk Pahlawan
Nasional yang bergelar Ayam Jantan dari Timur “I Mallombassi Daeng Mattawang
KaraEng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla’Pangkana, Raja Gowa
XVI”.
Hubungan kekerabatan antara Raja Marusu’ dengan
Raja-Raja di Sulawesi Selatan diawali dengan perkawinan antara putri “ KaraEng
LoE ri Marusu’ “ yang bernama “I Pasilemba Tumamalianga ri Tallo”, yang dipersunting
oleh “I Mangayoang Berang Tunipasuru’, Raja Tallo III”.
Dari perkawinan putri Marusu’ dengan Raja Tallo
ini lahir “KaraEng Patingalloang Tumenanga ri Makkowayang, Raja Tallo IV”.
“KaraEng Patingalloang Tumenanga ri
Makkowayang, Raja Tallo IV” yang tidak
lain adalah cucu langsung dari “KaraEng
LoE Ri Marusu” kemudian mempersunting “KaraEng Sombaopu”, putri dari “I Daeng
Matanre KaraEng Tumapa’risi’ Kallongna, Raja Gowa IX”.
Dari perkawinan ini lahir (a). “Daeng Niasseng
KaraEng Patingalloang, Raja Tallo V” dan (b). “I Malingkaan Daeng Manyonri KaraEng
Matowaya Sultan Abdullah Awwalul Islam Tumenanga ri Agamana, Raja Tallo VI”.
a. “Daeng Niasseng KaraEng Patingalloang, Raja Tallo V”
dipersunting oleh “I Manggorai Daeng Mammeta KaraEng Bonto Langkasa’ Tunijallo’,
Raja Gowa XII”. Dari perkawinan ini lahir :
1. “I TepukaraEng Daeng Parabbung Tunipasulu’ KaraEng Bonto Langkasa, Raja Gowa XIII”,
2. “I Mangarangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna, Raja Gowa XIV”. Baginda mempersunting Daeng Maccini
KaraEng Bontoa. Dari perkawinan ini lahir “I Manuntungi Daeng Mattola KaraEng
Lakiyung Sultan Malikussaid, Raja Gowa XV”. Kemudian “Sultan Malikussaid”
mempersunting Lo’mo Tokuntu. Dan dari perkawinan ini lahir Baginda “I
Mallombassi Daeng Mattawang KaraEng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tumenanga
ri Balla’Pangkana,Raja Gowa XVI”. Dari pemaparan di atas Nampak jelas bahwa “Sultan
Hasanuddin” adalah “keturunan ke-6” dari “ KaraEng LoE ri Marusu’
“.
Salah seorang
cucu langsung “Sultan Hasanuddin” yakni “I Mariyama KaraEng Pattukangang” kemudian
dipersunting oleh “La Patau
Matanna Tikka Walinonoé To Tenri Bali Malaé Sanrang Sultan Idris Azimuddin Petta Matinroé ri Nagauléng, Raja Bone XVI”. Dari
Perkawinan ini lahir : (1).“La Pareppai To Sappewali Sultan Sahabuddin
Ismail, Raja Gowa XX & Raja Bone XIX”, (2). “La Padassajati To Appaware Sultan
Sulaiman, Raja Bone XVIII”, (3). “La Panaungi To Pawawoi Sultan Abdullah Mansur,
Raja Bone XX”, dan (4). “We Yanebana”.
3. “ KaraEngta Balla’bugisi’ “, dipersunting oleh “Pattiware
Daeng Parabbung Sultan Muhammad Waliul Mudharuddin Raja Luwu XV”. Dari
perkawinan ini lahir (1).“Pattiaraja”, (2). “Pattipasaung, Raja Luwu XVI” dan
(3). “We Tenri Siri Somba Baineya”.
b. “I Malingkaan Daeng Manyonri KaraEng Matowaya Sultan
Abdullah Awwalul Islam Tumenanga ri Agamana, Raja Tallo VI”, adalah Raja
Makassar yang pertama memeluk Agama Islam. “I Mallingkaan “ mempersunting
“KaraEng Mannaungi”. Dari perkawinan ini lahir (1). “KaraEng Kanjilo Sultan Abdul Gaffar, Raja
Tallo VII”, (2). “I Mangadicinna Daeng
Sitaba Sultan Mahmud KaraEng Patingalloang, Raja Tallo VIII” dan (3).
“KaraEng Pattukangang”.
Dari pemaparan tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa sebahagian besar Raja Gowa, Raja Tallo, Raja Bone dan Raja
Luwu serta keturunannya yang tersebar di Sulawesi Selatan adalah keturunan Raja
Maros “ KaraEng LoE Ri Marusu’ “.
“ I MANGADICINNA
DAENG SITABA
SULTAN MAHMUD KARAENG PATINGALLOANG TUMENANGA RI BONTO BIRAENG, RAJA TALLO VIII, KARAENG
TUMABBICARA BUTTA RI GOWA.”
“
I Mangadicinna Karaeng Patingalloang” adalah
putra dari “I Malingkaan Daeng Manyonri KaraEng Matowaya Sultan Abdullah Awwalul Islam Tumenanga ri Agamana,
Raja Tallo VI”. Turunan ke- 4 dari “KaraEng Loe Ri Marusu “ ini diangkat sebagai Tumabbicara Butta atau Mangkubumi Kerajaan Gowa pada tahun 1639, mendampingi Sultan Malikussaid yang
memerintah pada tahun 1639-1653. Karaeng Pattingalloang, dilantik menjadi
Tumabbicara Butta Kerajaan Gowa pada
hari Sabtu, tanggal 18 Juni 1639. Pada saat ini menjabat Mangkubumi, Karajaan
Makassar telah menjadi sebuah kerajaan terkenal dan banyak mengundang perhatian
negeri-negeri lainnya.
Karaeng Patingalloang adalah putra Tallo-Marusu’-Gowa yang kepandaiannya atau kecakapannya melebihi orang-orang Bugis Makassar pada umumnya. Dalam usia 18 tahun ia telah menguasai banyak bahasa, di antaranya bahasa Latin, Yunani, Itali, Perancis, Belanda, Arab, dan beberapa bahasa lainnya. Selain itu juga memperdalam ilmu falak. Pemerintah Belanda melalui wakil-wakilnya di Batavia di tahun 1652 menghadiahkan sebuah bola dunia (globe) yang khusus dibuat di negeri Belanda, yang diperkirakan harganya f 12.000. Beliau meninggal pada tanggal 17 September 1654 di Kampung Bontobiraeng. Sebelum meninggalnya ia telah mempersiapkan 500 buah kapal yang masing-masing dapat memuat 50 awak untuk menyerang Ambon.
Karaeng Patingalloang adalah juga seorang pengusaha internasional, beliau bersama dengan Sultan Malikussaid berkongsi dengan pengusaha besar Pedero La Matta, Konsultan dagang Spanyol di Bandar Somba Opu, serta dengan seorang pelaut ulung Portugis yang bernama Fransisco Viera dengan Figheiro, untuk berdagang di dalam negeri. Karaeng Pattingalloang berhasil mengembangkan/meningkatkan perekonomian dan perdagangan Kerajaan Gowa. Di kota Raya Somba Opu, banyak diperdagangkan kain sutra, keramik Cina, kain katun India, kayu Cendana Timor, rempah-rempah Maluku, dan Intan Berlian Borneo.
Pada pedagang-pedagang Eropa yang datang ke Makassar biasanya membawa buah tangan yang diberikan kepada para pembesar dan bangsawan-bangsawan di Kerajaan Gowa. Buah tangan itu kerap kali juga disesuaikan dengan pesan yang dititipkan ketika mereka kembali ke tempat asalnya. Karaeng Pattingalloang ketika diminta buah tangan apa yang diinginkannya, jawabnya adalah buku. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Karaeng Patingalloang memiliki banyak koleksi buku dari berbagai bahasa.
Karaeng Patingalloang adalah sosok cendikiawan yang dimiliki oleh Kerajaan Makassar ketika itu. Karena itu pedulinya terhadap ilmu pengetahuan, sehingga seorang penyair berkebangsaan Belanda yang bersama Joost van den Vondel, sangat memuji kecendikiawannya dan membahasakannya dalam sebuah syair sebagai berikut:
“Wiens aldoor snuffelende brein
Een gansche werelt valt te klein”
Yang artinya sebagai berikut:
“Orang yang pikirannya selalu dan terus menerus mencari sehingga seluruh dunia rasanya terlalu sempit baginya”.
Karaeng Patingalloang
tampil sebagai seorang cendekiawan dan negarawan di masa lalu. Sebelum beliau
meninggal dunia, beliau pernah berpesan untuk generasi yang ditinggalkan antara
lain sebagai berikut:
Ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu:
1. Punna taenamo naero nipakainga’ Karaeng Maggauka,
2. Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Pa’rasangnga,
3. Punna taenamo gau’ lompo ri lalang Pa’rasanganga,
4. Punna angngallengasemmi soso’ Pabbicaraya, dan
5. Punna taenamo nakamaseyangi atanna Manggauka.
Yang artinya sebagai berikut :
1. Apabila raja yang memerintah tidak mau lagi dinasehati atau diperingati,
2. Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri,
3. Apabila sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri,
4. Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok, dan
5. Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.
Ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu:
1. Punna taenamo naero nipakainga’ Karaeng Maggauka,
2. Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Pa’rasangnga,
3. Punna taenamo gau’ lompo ri lalang Pa’rasanganga,
4. Punna angngallengasemmi soso’ Pabbicaraya, dan
5. Punna taenamo nakamaseyangi atanna Manggauka.
Yang artinya sebagai berikut :
1. Apabila raja yang memerintah tidak mau lagi dinasehati atau diperingati,
2. Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri,
3. Apabila sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri,
4. Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok, dan
5. Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.
Beliau wafat ketika ikut dalam barisan Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Setelah wafatnya, “KaraEng Patingalloang” kemudian dianugerahi gelar anumerta “Tumenanga ri Bonto Biraeng”.
Semoga
pesan-pesan beliau sebagai seorang Negarawan dan Cendikiawan dapat mengilhami para
pemimpin dan putra-putri Maros untuk membawa Maros menjadi Butta Salewangang
yang sesungguhnya…Amiiin.
C.
MAROS, PASCA PERJANJIAN BUNGAYA 1667.
Bongaya pada masa lalu merupakan nama
sebuah Kampoeng di
Makassar yang kini telah menjadi nama sebuah Kecamatan. Konon dinamakan
Bongaya karena di wilayah tersebut banyak ditumbuhi bunga-bunga dan kondisi
alamnya yang asri. Di Bongaya inilah tempat berlangsungnya perjanjian monumental antara
Pemerintah kolonial Belanda dengan Sultan Hasanuddin yang dijuluki “De Haantjes van
Het Oosten” atau “ Ayam Jantan/Jago Dari
Benua Timur”.
Perjanjian Bungaya (sering juga disebut Bongaya atau Bongaja) adalah
perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya antara Kesultanan Gowa yang diwakili
oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman. Walaupun disebut perjanjian
perdamaian, isi sebenarnya adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta
pengesahan monopoli oleh serikat dagang Belanda (VOC) untuk perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar yang dikuasai Gowa.
Isi perjanjian :
- Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan antara pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sebagai Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 harus diberlakukan.
- Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni berkebangsaan Eropa yang baru-baru ini atau pada masa lalu melarikan diri dan masih tinggal di sekitar Makassar harus segera dikirim kepada Laksamana (Cornelis Speelman).
- Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang masih tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, harus diserahkan kepada Kompeni.
- Mereka yang terbukti bersalah atas pembunuhan orang Belanda di berbagai tempat harus diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
- Raja dan bangsawan Makassar harus membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, paling lambat musim berikut.
- Seluruh orang Portugis dan Inggris harus diusir dari wilayah Makassar dan tidak boleh lagi diterima tinggal di
sini atau melakukan perdagangan.
Tidak ada orang Eropa yang boleh masuk atau melakukan perdagangan di Makassar. - Hanya Kompeni yang boleh bebas berdagang di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tidak boleh memasarkan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh melakukannya. Semua yang melanggar akan dihukum dan barangnya akan disita oleh Kompeni.
- Kompeni harus dibebaskan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
- Pemerintah dan rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan harus meminta surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tidak boleh ada kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya semua wilayah di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar harus menebusnya dengan nyawa dan harta.
- Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar harus dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk ditempati raja.
- Benteng Ujung Pandang harus diserahkan kepada Kompeni dalam keadaan baik, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi wilayahnya.
- Koin Belanda seperti yang digunakan di Batavia harus diberlakukan di Makassar.
- Raja dan para bangsawan harus mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan perhitungan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya harus sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya paling lambat pada musim berikut.
- Raja dan bangsawan Makassar tidak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan wilayahnya.
- Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu harus diserahkan kepada Kompeni untuk dihukum.
- Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar harus dikembalikan. Bagi mereka yang telah meninggal atau tidak dapat dikembalikan, harus dibayar dengan kompensasi.
- Bagi Sultan Ternate, semua orang yang telah diambil dari Kepulauan Sula harus dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa harus melepaskan seluruh keinginannya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya adalah milik raja Ternate.
- Gowa harus menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La Ténribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya harus dibebaskan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang masih ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang masih ditahan penguasa Gowa.
- Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka harus dilepaskan.
- Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo hingga Turatea, dan dari Turatea hingga Bungaya, harus tetap menjadi tanah milik Kompeni sebagai hak penaklukan.
- Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar harus ditinggalkan oleh pemerintah Gowa dan tidak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
- Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, dapat terus bersama isteri mereka. Untuk selanjutnya, jika ada orang Makassar yang berharap tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berharap tinggal dengan orang Makassar, boleh melakukannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
- Pemerintah Gowa harus menutup negerinya bagi semua bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga harus membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
- Persahabatan dan persekutuan harus terjalin antara para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang pada masa depan ingin turut dalam persekutuan ini.
- Dalam setiap sengketa di antara para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) harus diminta untuk menengahi. Jika salah satu pihak tidak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil tindakan yang setimpal.
- Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar harus mengirim dua penguasa pentingnya bersama Laksamana ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini kepada Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Jika perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral dapat menahan dua pangeran penting sebagai sandera selama yang dia inginkan.
- Lebih jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang ada di Makassar harus dibawa ke Batavia.
- Lebih jauh tentang pasal 15, jika Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa harus ditahan.
- Pemerintah Gowa harus membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berturut-turut, baik dalam bentuk meriam, barang, emas, perak ataupun permata.
- Raja Makassar dan para bangsawannya, Laksamana sebagai wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini harus bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November 1667.
Dalam
Perjanjian Bungaya di atas, terdapat 5 pasal berkaitan dengan
Sultan Bima. Pasal-pasal tersebut adalah pasal 9, 14, 15, 24 dan 28. Dari
cuplikan pasal 9 jelas tertera bahwa orang –orang Makassar dilarang mengirimkan
perahu-perahunya ke Bima, Solor dan Timor, Selayar, sebelah utara pulau
Kalimantan, Mindanao(Philipina) atau di pulau-pulau sekitarnya. Siapa yang
melanggar akan ditangkap dan disita barangnya. Pasal 14 secara tegas menyatakan
dan mengancam Raja dan pembesar Gowa untuk tidak mencampuri urusan negeri Bima.
Pasal ini juga secara tegas melarang Gowa untuk membantu Bima dan ini merupakan
salah satu trik Kompeni untuk memecah belah Bima dengan Gowa.
Kemudian pada pasal 15 memerintahkan kepada Raja Gowa untuk menyerahkan Raja Bima dan menantunya Raja Dompu, Raja Sanggar, Raja Tambora beserta pengikutnya yang telah terbukti membunuh anggota VOC. Pada Pasal 24, VOC mengatur persekutuan dagang, perjanjian perdamaian,persahabatan di antara kerajaan-kerajaan di jalur perdagangan nusantara timur termasuk Bima. Pada pasal 28 VOC, mengultimatum dalam sepuluh hari Raja Bima dan Karaeng Bonto Marannu harus ditangkap hidup atau mati.
Perjanjian itu ditentang oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin,Raja Bima berserta beberapa Karaeng-karaeng di Makassar. Mereka tetap pada pendirian untuk memerangi Kompeni sampai titik darah penghabisan. Pada malam menjelang perundingan Bongaya dilaksanakan, Sultan Bima menolak dan memilih untuk kembali ke Bima. Bagi Abdul Khair Sirajuddin, menandatangani perjanjian Bongaya sama dengan menyerahkan diri secara konyol dan menjadi tahanan di Bui Kompeni. Dia dan Karaeng Bonto Maranu terus mengacaukan suasana di laut dengan menenggelamkan dan merampas isi kapal-kapal Kompeni.
Dalam pelariannya dari Makassar, Sultan Abdul Khair Sirajuddin,Raja Bima dan Karaeng Bonto Marannu kembali memperkuat Armada Laut Bima yang bernama Pabise. Untuk mengenang kehebatan Pabise inilah di depan Asi Mbojo terdapat sebuah tiang kapal yang saat ini sudah patah bagian atasnya. Dan Nama Karaeng Bonto Marannu inilah yang menjadi cikal bakal penamaan nama kampung Bontoranu di Bima.
Kemudian pada pasal 15 memerintahkan kepada Raja Gowa untuk menyerahkan Raja Bima dan menantunya Raja Dompu, Raja Sanggar, Raja Tambora beserta pengikutnya yang telah terbukti membunuh anggota VOC. Pada Pasal 24, VOC mengatur persekutuan dagang, perjanjian perdamaian,persahabatan di antara kerajaan-kerajaan di jalur perdagangan nusantara timur termasuk Bima. Pada pasal 28 VOC, mengultimatum dalam sepuluh hari Raja Bima dan Karaeng Bonto Marannu harus ditangkap hidup atau mati.
Perjanjian itu ditentang oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin,Raja Bima berserta beberapa Karaeng-karaeng di Makassar. Mereka tetap pada pendirian untuk memerangi Kompeni sampai titik darah penghabisan. Pada malam menjelang perundingan Bongaya dilaksanakan, Sultan Bima menolak dan memilih untuk kembali ke Bima. Bagi Abdul Khair Sirajuddin, menandatangani perjanjian Bongaya sama dengan menyerahkan diri secara konyol dan menjadi tahanan di Bui Kompeni. Dia dan Karaeng Bonto Maranu terus mengacaukan suasana di laut dengan menenggelamkan dan merampas isi kapal-kapal Kompeni.
Dalam pelariannya dari Makassar, Sultan Abdul Khair Sirajuddin,Raja Bima dan Karaeng Bonto Marannu kembali memperkuat Armada Laut Bima yang bernama Pabise. Untuk mengenang kehebatan Pabise inilah di depan Asi Mbojo terdapat sebuah tiang kapal yang saat ini sudah patah bagian atasnya. Dan Nama Karaeng Bonto Marannu inilah yang menjadi cikal bakal penamaan nama kampung Bontoranu di Bima.
Konsekuensi
Perjanjian Bungaya membawa pengaruh besar terhadap Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi
Selatan dan Kerajaan-Kerajaan di bagian Timur
Indonesia seperti Bima, Sanggar, Dompu, Tambora, Ternate, Tidore, Buton dan lainnya.
Maros pada pasca Perjanjian Bungaya juga dikategorikan berada langsung dalam
kekuasaan Belanda. Dampak selanjutnya adalah “Migrasi” pangeran-pangeran dari
Kerajaan Gowa, Bone dan Luwu ke negeri lain di luar Kerajaannya sebagai sikap
ketidakpuasan dengan Perjanjian Bungaya dengan mendirikan
Kerajaan-Kerajaan serta
kasullewatangan baru di wilayah sekitar
Maros. Kerajaan dan Kasullewatangan tersebut antara lain Turikale, Simbang,
Tanralli, Bontoa, Tangkuru, Raya, Lau’, Timboro’, dan Kabba (wara), serta
beberapa kerajaan di wilayah Lebbo’ Tengae.
Pada Tahun 1859, daerah-daerah tersebut dimodifikasi lagi oleh Belanda
dengan membentuk REGENTSCHAPPEN dengan komposisi :
1.
Regentschap
TURIKALE, 43 Kampoeng,
2.
Regentschap
TANRALILI, 40 Kampoeng,
3.
Regentschap
MARUSU, 35 Kampoeng,
4.
Regentschap
LAU’ (gabungan Raya, Lau’ dan Tangkuru), 34 Kampoeng,
5.
Regentschap
SIMBANG, 24 Kampoeng,
6.
Reetschap
BONTOA, 16 Kampoeng.
Kepala Pemerintahan pada masing-masing Regentschappen tersebut di atas adalah
Regent yang bergelar KaraEng yang dipilih dari Bangsawan setempat yang memenuhi
syarat oleh masing-masing Kepala Kampoeng dengan persetujuan Gouvernement
Belanda di Makassar.
Pada Tahun 1917, bentuk pemerintahan tersebut diubah lagi menjadi
Distrik Adat Gementschap berdasarkan earste Gouvernements Secretari No. 1863/I,
tanggal 4 Agustus 1917, dan Kepala Pemerintahannya adalah Kepala Distrik yang
bergelar KaraEng, Arung/Puwatta dan Gallarang.
D. KERAJAAN-KERAJAAN DI MAROS MEMBENTUK
“PA’BULOSIBATANGANG”.
Maros memiliki posisi strategis diantara dua kerajaan besar yakni Bone
dan Gowa. Posisi ini seringkali dimanfaatkan oleh dua kerajaan besar ini berikut
Belanda untuk menguasai Maros. Hal ini
menciptakan upaya perlawanan secara terus-menerus oleh penguasa-penguasa lokal
di Maros.
Tercatat pada tanggal 21 Mei 1777, La Pottokati Arung Baringeng,Ponggawa
Bone, memimpin lasykarnya membebaskan Maros dari belenggu kekuasaan Gowa yang
pada waktu itu dibawah pemerintahan I Sangkilang Batara Gowa. Bertolak dari
pembebasan tersebut maka para 5 Penguasa lokal yakni KaraEng Marusu’, KaraEng
Simbang, KaraEng Tanralili, KaraEng Bontoa dan Sullewatang Raya dengan segera membentuk
forum komunikasi “ TODDO LIMAYYA RI MARUSU’ “.
Peristiwa 21 Mei 1977 ini tertulis dalam Lontara’ Marusu’ :
“…….niya’mi assulu’ Bone ambunduki Gowa ri wattunna niya’ ri Marusu’ I Sangkilang
Batara Gowa, nasisambe-sambe Gowa na Bone na Balandayya angngatai Marusu’
siyagang pa’rasangang niyaka ri ampi’na Marusu’, iyami Simbang, Bontoa, Raya
siyagang Tanralili. Kammanamo anjo nappakarammula ero’ sikontu KaraEnga
naero’mo ampareki pa’bulosibatangang nanikanamo Toddo Limaya Ri Marusu’,
kalimai KaraEng tena pasisa’lakangna……………..”
Berdirinya TODDO LIMAYA RI MARUSU sebagai forum pemersatu kemudian
diikuti oleh kerajaan-kerajaan yang berada di sebelah timur Maros dengan
membentuk federasi “LEBBO’ TENGNGAE” yang merupakan gabungan dari perikatan
kerajaan “PITU BILA-BILA” (Cenrana, Camba, Mallawa, Labuaja, Gattareng
Matinggi, Wanua Waru dan Balocci) dan
kerajaan-kerajaan wilayah selatan Maros dengan federasi “GALLARANG APPAKA”
(Bira, Sudiang, Moncongloe dan Biringkanaya).
Komunikasi ketiga forum pemersatu yang terjalin dengan semangat
kekeluargaan disertai rasa senasib dan sepenanggungan tersebut melahirkan
permufakatan bersama dalam bentuk “ TENRE’ TELLUE RI MARUSU’ “.
Perlawanan Rakyat Maros terhadap Belanda pun tetap berlangsung. Dan pada
tanggal 4 February 1855, La Mappalewa Daeng Mattayang (Regent Van Marusu’)
diberhentikan dari jabatannya dengan tuduhan menggunakan dana pemerintahan
untuk kepentingan perjuangan melawan
Belanda.
Pada tahun 1864 di wilayah Lebbo’ Tengngae, La Mappintjara (Regent Van
Camba) melakukan pemboikotan terhadap controlleur Belanda di Camba karena
dipaksa menyiapkan warganya untuk dijadikan pengawal pribadi bagi setiap
pegawai berkebangsaan Belanda. Tindakan heroic beliau ternyata diikuti oleh
hampir seluruh regent yang ada di Maros.
E. MAROS PASCA KEMERDEKAAN RI 1945.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, maka struktur pemerintahan yang ada kemudian mengalami perubahan. “Adat Gementschap” yang sebelumnya diformulasikan kedalam bentuk “Distrik” harus pula menyesuaikan dan akhirnya pada tanggal 1 Juni 1963, Undang - Undang No. 29 Tahun 1959 mulai diberlakukan.
Distrik/Daerah Adat/Kerajaan Lokal kemudian “menghilang” dari permukaan sejarah dengan dibentuknya kecamatan-kecamatan. Ironisnya, 4 (empat) kecamatan yang terbentuk pada waktu itu tidak sebanding dengan jumlah Distrik yang telah ada.
1. Distrik Turikale, Marusu’, Lau’ dan Bontoa dilebur menjadi “Kecamatan Maros Baru”.
2. Distrik Simbang dan beberapa wilayah dari distrik tetangganya dilebur menjadi “Kecamatan Bantimurung”.
3. Distrik – distrik dari federasi “Lebbo’ Tengngae” dilebur menjadi “Kecamatan Camba”.
4. Distrik Tanralili dan beberapa wilayah dari federasi Gallarang Appaka dilebur menjadi “Kecamatan Mandai”.
Pada tahun 1989, terjadi pemekaran wilayah kecamatan dengan dibentuknya 3 Kecamatan Perwakilan yakni :
1. Kecamatan Tanralili.
2. Kecamatan Mallawa.
3. Kecamatan Maros Utara.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, maka struktur pemerintahan yang ada kemudian mengalami perubahan. “Adat Gementschap” yang sebelumnya diformulasikan kedalam bentuk “Distrik” harus pula menyesuaikan dan akhirnya pada tanggal 1 Juni 1963, Undang - Undang No. 29 Tahun 1959 mulai diberlakukan.
Distrik/Daerah Adat/Kerajaan Lokal kemudian “menghilang” dari permukaan sejarah dengan dibentuknya kecamatan-kecamatan. Ironisnya, 4 (empat) kecamatan yang terbentuk pada waktu itu tidak sebanding dengan jumlah Distrik yang telah ada.
1. Distrik Turikale, Marusu’, Lau’ dan Bontoa dilebur menjadi “Kecamatan Maros Baru”.
2. Distrik Simbang dan beberapa wilayah dari distrik tetangganya dilebur menjadi “Kecamatan Bantimurung”.
3. Distrik – distrik dari federasi “Lebbo’ Tengngae” dilebur menjadi “Kecamatan Camba”.
4. Distrik Tanralili dan beberapa wilayah dari federasi Gallarang Appaka dilebur menjadi “Kecamatan Mandai”.
Pada tahun 1989, terjadi pemekaran wilayah kecamatan dengan dibentuknya 3 Kecamatan Perwakilan yakni :
1. Kecamatan Tanralili.
2. Kecamatan Mallawa.
3. Kecamatan Maros Utara.
Kemudian pada hari Kamis, tanggal 22 Agustus 1996, DPD
II KNPI Kabupaten Maros mengadakan “Seminar Pemekaran dan Perubahan Nama
Kecamatan” dengan berlandaskan latar belakang kesejarahan sekaligus sebagai
pemantapan “jati diri Maros” melalui kilas balik sejarah. Upaya DPD II KNPI
Maros pada waktu itu mendapat apresiasi dan sambutan hangat dari para Budayawan
dan Pemerhati Sejarah. “Nama” yang sarat dengan muatan historis memang punya
arti tersendiri, terutama bagi orang-orang yang menghormati jati dirinya.
Bertolak dari hasil seminar tersebut, maka Bupati KDH Tk.II Maros , alm. H. Nasrun A. Amrullah (cucu langsung dari H. Andi Page Manyanderi Petta Ranreng, Petta Imam Turikale III), lewat Surat BKDH Tingkat II Maros, No.146.1/276/Pem. Tgl.19 September 1996, meminta Persetujuan DPRD Tk.II Maros untuk Pembentukan/Pemekaran Kecamatan. DPRD Tk.II Maros kemudian membentuk Pansus yang kemudian membahas dan menetapkan pembentukan/pemekaran kecamatan yang telah ada serta diberi “Nama” sesuai dengan Nama Distrik yang pernah ada.
Sekarang ini terdapat 14 Kecamatan yang telah terbentuk di Kabupaten Maros, dimana beberapa diantaranya telah “kembali” diberi nama sesuai dengan tapak sejarahnya.
1. Kecamatan Bantimurung,
2. Kecamatan BONTOA,
3. Kecamatan CAMBA,
4. Kecamatan CENRANA,
5. Kecamatan LAU’,
6. Kecamatan MALLAWA,
7. Kecamatan Mandai,
8. Kecamatan Maros Baru,
9. Kecamatan MARUSU,
10. Kecamatan MONCONGLOE,
11. Kecamatan SIMBANG,
12. Kecamatan TANRALILI,
13. Kecamatan Tompo’bulu,
14. Kecamatan TURIKALE ( Ibu Kota Kabupaten Maros ).
P E N U T U P
Demikian sekilas “Bingkai Kecil Sejarah Maros” yang saya posting lewat dunia maya ini. Meskipun terdapat banyak kekurangan, namun saya berharap mudah-mudahan dapat menambah wawasan kita tentang Sejarah MAROS-ta’ yang kita cintai bersama.
Harapan saya khusus kepada saudara-saudaraku di “DPD II KNPI Maros ” yang baru-baru ini mengadakan seminar Hari Jadi Kabupaten Maros dan Pemerintah Kabupaten Maros yang telah menetapkan sekaligus merayakan Hari Jadi Kabupaten Maros ke-53, agar pada tahun berikutnya Hari Jadi Maros yang beri tempat untuk dirayakan secara meriah, mengingat Maros telah memiliki Perda No. 11 tahun 2001 yang menetapkan Hari Jadi Maros jatuh pada tanggal 4 January 1471. Hari Jadi Maros ini yang seharusnya disosialisasikan oleh Pemerintah Kabupaten Maros karena telah memiliki payung hukum.
Makna penting dari tanggal,bulan dan tahun Hari Jadi
Maros tersebut di atas adalah penggabungan “momentum History” yang mengandung substansi Religius,
Heroic dan Patriotisme serta Kesejahteraan.
Substansi Religius makna “4” dari Hari Jadi Maros tersebut adalah “Pelaksanaan Sholat Jum’at Pertama” secara resmi di seluruh wilayah Maros yang putuskan oleh Lembaga ke-Kadhian Maros pada Tanggal 4 Oktober 1834. Sholat Jum’at pertama tersebut dilaksanakan di “Masjid LompoE Urwatul Wutsqa Turikale” . ( Sumber “Pelaksanaan Sholat Jum’at pertama” : Sayyid Muhammad Akib Ass. Puang Wero – Labuang, Maros ).
Pidato Presiden Soekarno pada peringatan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1966 : “ Jangan Sekali-kali meninggalkan Sejarah ”.
Wassalamu Alaikum Wr. Wb.
Sumber :
- Bingkai Kecil
Sejarah Maros, Alm. A. Burhanuddin Zainuddin.
- “Buku Merah”
Sejarah Bone, Gowa,& Luwu, Alm. Syeikh Al Haj M. Zainuddin P. Remma’, Imam
Turikale VI.
- Lontara’
Marusu’, milik H. A. Fachry Makkasau.
-
Maros dalam
Dinamika Sejarah, Alm. A. Burhanuddin Z.(ex. Ka.Kandep P & K Kab. Maros).
-
Penggalian
Sejarah Turikale, H. A. Fachry Makkasau (ex. Wk.Ketua DPRD Maros).
- Kampungbugis.com.
- Gowata.blogspot.com.
-
Andaya,
Leonard Y.2004
Perjanjian
Bongaya dan Serpihan Sejarah Yang Tak Terungkap, Romantika Bima.
0 komentar:
Posting Komentar