Sering
kita melihat dandanan jeans ketat robek, kaos sempit, atau fashion kulit dan
rantai-rantai, serta aksesoris paku ala punk dikenakan anak muda, lengkap
dengan rajah tubuh dan tindikan tida hanya di telinga. Sikap slengean serasa
rockstar. Meski ketika bersentuhan dengan realita, kehidupan bermasyarakat yang
sarat dengan nilai dan norma dan kaum mayoritas, mereka di beri label negative.
Tapi justru mereka semakin melawan dominasi, memberontak kamapanan. Menapaki
jejaknya, subkultur lahir dari keberadaan kekuasaan dominan yang dianggap
mempunyai kepentingan dan tidak manusiawi. Subkultur tersebut tetap ada sebagai
oposisi kemapanan bahkan ada role model-nya.
Kaum
muda identik dengan proses pencarian jati diri mereka mengidentifikasikan diri
demi eksistensi dan tujuan mereka. Music dan segala pernak-pernik seperti
fashion dan ottitude-nya adalah salah satu medianya. Muik menjadi media
komunikasi massa yang kuat dan berpengaruh (selain televise dan internet) untuk
menyampaikan sesuatu bagi kaum muda, baik dari karya maupun attitude musisinya.
Mereka yang kritis cenderung mempertanyakan hal-hal di sekiarnya, termasuk
kesenjangan social, dominasi kapitalisme, hingga membuat mereka mencari
pandangan yang sejalan dengan mereka. Musik dengan segala ideology didalamnya
menjadi wadah yang tepat bagi eksplorasi kaum muda.
Anak
muda akan cenderung mengidentifikasi bahkan mengimitasikan karya music, baik
secara mentah-mentah maupun kritis. Hal itu berpengaruh pada pandangan hidup,
ideology, attitude, bahkan memacu kreativias kaum muda dalam berkarya. Tidak
ada yang salah , jika memang itu alasan atau bahkan pemicu untuk berkarya dan
menjadi kritis.
Semua
label negative bias dianggap hanya pesan kosong yang tidak mau menerima sesuatu
yang baru, yang beda, yang berontak karna kritis. Sikap konvensional hanya
menang karna memang mayoritas dengan standar yang sempit.
Sumber : KULTUR UNDERGROUN: yang pekak dan berteriak
di bawah tanah, Taufik Adi Susilo, Jogjakarta : Garasi, 2009