05 Maret 2014

Bercerita Dalam Tulisan

 
menulis adalah karya budaya manusia, baik itu karya sastra atau karya ilmiah. apalagi sebagai akademisi yang objeknya karya tulis (khusus jurusan jurnalistik), menulis adalah makanan sehari-hari, dalam ilmu teater pun karya tulis merupakan satu kesatuan dalam pementasan, yang terdapat dalam naskah drama.
penulasan naskah drama memang sesuatu yang kompleks karna isinya merupakan refleksi dari kehidupan manusia. tetapi, dari situ pula kita bisa tahu dari mana dan bagai mana menulis dan terus berlatih menulis. ada hal dasar yang perlu di perhatikan dalam menulis naskah drama. pertama adalah tema, kedua adalah tokoh yang biasanya terdiri dari tokoh-tokoh karakter baik dan buruk, karena kehidupan manusia tidak lepas dari hubungan sebab-akibat. Dari hal-hal dasar tersebut lahir kemudian jalan cerita, latar tempat, waktu dan hal pendukung lainnya.
membuat karya tulis dapat juga diaplikasikan dengan cara mengambil satu tema besar yang ingin kita jadikan permasalahan, ditambah pendapat para narasumber yang pro dan kontra pada permasalahn tersebut, lalu disusun menjadi sebuah kronologi peristiwa didukung penjabaran fakta.
dilihat dari sudut pandang sastra naskah drama, hukum apa, siapa, dimana, kapan, mengapa dan bagaimana atau lebih terkenal dengan istilah  What, Who, Where, When, Why, How (5W+1H)
mengalami perkembangan . antara lain what menjadi alur, who menjadi karakter, where menjadi latar, whwn menjadi kronologi adegan, why menjadi motif, dan how menjadi narsi.
naskah drama pada dasarnya sama dengan karya tulis ilmiah atau laporan jurnalistik, "curhatan sehari-hari" buku harian, atau bahkan coretan rumus matematika.
goreskan pena dan berceritalah. . .

01 Maret 2014

Forum Pemilih Pemula Dalam Pemilu 2014


1.      Sosialisasi

















Kegiatan sosialisasi ini berlangsung di Kampus SMAN 3 Lau Maros, dalam acara pembukaan PORAKES (Porseni Antar Kelas) yang di adakan oleh OSIS SMAN 3 Lau Maros. PORAKES ini bertemakan SEHAT  DENGAN OLAHRAGA, BERKREASI DENGAN SENI, BERIMTAQ DENGAN AGAMA ”  , di mana dalam kegiatan ini di dukung oleh beberapa media, diantaranya : Fajar TV, Maros INFO, Marfografi, Tribun Timur, Tabloit Target, Dan KLJI Maros, hal ini di hadiri oleh banyak pengunjung, , , yang menggelitik untuk sosialisasi pemilih pemula tentang pentingnya aspirasi rakyat bagi legalitas penyelenggara pemerintahan melalui pemilu dan dilanjutkan dengan simulasi pemungutan suara oleh perwakilan peserta. Dengan adanya kegiatan ini diharapkan para pemilih pemula dapat memberikan suaranya dengan cerdas karena satu pilihan menentukan nasib bangsa di masa depan.

2.      Pemuda dan suksesnya pemilu 2014

Generasi muda, terutama pemilih pemula menjadi bagian penting untuk kemajuan dan kesejahteraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena mereka adalah pelaku demokrasi di masa yang akan datang.
Karakter generasi muda dalam pemilu sebagai pemilih pemula diantaranya yaitu karakter politiknya yang masih polos, dinilai relatif belum terpola dan merupakan pemilih aktif. Mereka cenderung berpikir terbuka (open minded), meskipun di sisi lain tetap berkeinginan kritis, kosmopolitan, dan mengikuti sejumlah perkembangan politik nasional. Sehingga menarik untuk dijadikan ajang perebutan.
Terkait hal tersebut Pemilu 2014 menjadi salah satu tumpuan untuk membuktikan bahwa generasi muda memiliki kekuatan strategis di dalamnya. Pemilih pemula pada Pemilu 2014 diperkirakan 30,2 juta orang. Jadi, ada sekitar 17 persen di antara sekitar 175 juta pemilih yang akan memilih untuk pertama kali pada tahun 2014. Jumlah ini sangat signifikan dari segi politik pemungutan suara (electoral politics). Bila pemilih pemula digabung dengan pemilih muda lain yang berusia di bawah 30 tahun, jumlahnya pada 2014 menjadi dua kali lipat, sekitar 34 persen.
Pemilu 2014 nantinya akan menghadapi beberapa tantangan diantaranya adalah ketidakpercayaan publik kepada parpol, melemahnya kedekatan pemilih dengan parpol, tingginya pemilih yang belum menentukan pilihan hingga turunnya partisipasi pemilih.
Generasi muda sebagai pemilih pemula adalah pemilih masa depan yang harus digarap menjadi pemilih yang berstruktur positif yang artinya adalah pemilih yang diberikan pendidikan menjadi sosok pemilih yang mengerti “hak dan kewajiban” demokratis. Sehingga jika dia harus berpartisipasi, maka sang pemilih pemula, memahami partisipasi politiknya bukanlah partisipasi kosong, habis mencoblos selesai sudah.
Dalam konteks inilah terletak urgensi pendidikan politik, bukan pengerahan atau mobilisasi politik. Pendidikan politik yang konstruktif dan benar menjadi sesuatu yang mutlak untuk pemilih pemula. Mengapa demikian, karena di sinilah  salah satu proses  pembentukan karakter politik seorang anak bangsa ditentukan.
Maka, memahami sikap politik kaum muda dan ke arah mana angin politik mereka bertiup menjadi sangat penting, baik untuk praktis politik maupun untuk pendidikan dan pembangunan politik di masa akan datang. Tentu semua berharap agar pemilih muda memiliki sikap politik yang tegas, yaitu menolak politik pencitraan, menolak figur yang popular secara instan dan menolak praktik politik uang.

3.      Potensi Besar & Sosialisasi Program yang belum merata

Indonesia memasuki tahun politik pada 2014. Disebut tahun politik antara lain karena Indonesia akan melaksanakan sejumlah kegiatan politik yang melibatkan setidaknya rakyat berusia 17 tahun ke atas dan berujung pada pemilihan anggota legislatif (anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah/Senator dan DPRD) dan kabinet pemerintahan baru (Presiden, Wakil Presiden dan para menteri).
Ya, di tahun 2014, Indonesia menggelar pesta demokrasi. Pada bulan April 2014 mendatang, masyarakat Indonesia akan secara langsung memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD untuk periode jabatan 2014 – 2018. Sedangkan di bulan Juli 2014, masyarakat Indonesia akan memilih Presiden dan Wakil Presiden yang akan menggantikan Presiden dan Wakil Presiden RI saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono.
Dari data yang dirilis KPU, jumlah total pemilih yang telah terdaftar untuk pemilu tahun 2014 adalah sejumlah 186.612.255 orang penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut 20-30%nya adalah Pemilih Pemula. Dalam pendidikan politik, kelompok muda yang baru pertama kali akan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu disebut dengan Pemilih Pemula. Pemilih Pemula ini terdiri dari mahasiswa dan siswa SMA yang akan menggunakan hak pilihnya pertama kali di tahun 2014 nanti.
Pada Pemilu 2004, jumlah Pemilih Pemula sekitar 27 juta dari 147 juta pemilih. Pada Pemilu 2009 sekitar 36 juta pemilih dari 171 juta pemilih. Data BPS 2010: Penduduk usia 15-19 tahun: 20.871.086 orang, usia 20-24 tahun: 19.878.417 orang. Dengan demikian, jumlah pemilih muda sebanyak 40.749.503 orang. Dalam pemilu, jumlah itu sangat besar dan bisa menentukan kemenangan partai politik atau kandidat tertentu yang berkompetisi dalam pemilihan umum.
Bagi mereka yang berusia 17-21 tahun, memilih dalam Pemilu merupakan pengalaman pertama kali. Ada juga kalangan yang menyebutkan bahwa TNI/Polri yang baru pensiun dan kembali menjadi warga sipil yang memiliki hak memilih, juga dikategorikan sebagai Pemilih Pemula. Ketika menjadi anggota TNI/Polri aktif, mereka tidak punya hak pilih dalam pemilu. Setelah memasuki usia pensiun, barulah mereka memiliki hak memilih dan dipilih dalam pemilu.
Pada dasarnya setiap warga negara memiliki hak politik untuk memilih dalam pemilu. Akan tetapi, hak itu harus diatur dengan cara menetapkan syarat tertentu agar terjadi keteraturan dalam proses politik. Syarat tersebut antara lain merupakan WNI yang berusia minimal 17 tahun, sudah/pernah menikah, tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya, terdaftar sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), bukan anggota TNI/Polri aktif, tidak sedang dicabut hak pilihnya, khusus untuk Pemilukada, calon pemilih harus berdomisili sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan di daerah yang bersangkutan.
Di antara syarat tersebut, yang paling penting mendapat perhatian adalah harus terdaftar sebagai pemilih. Untuk terdaftar sebagai pemilih, Pemilih Pemula harus mempunyai KTP. Meskipun sudah memenuhi syarat-syarat untuk menjadi pemilih namun tidak terdaftar sebagai pemilih, Pemilih Pemula tidak bisa ikut memilih. Jika tidak terdaftar sebagai pemilih, Pemilih Pemula harus melapor pada Petugas Pemungutan Suara memalui RT atau RW tempat tinggal pemilih.
Karakteristik Berbeda
Secara psikologis, Pemilih Pemula memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang- orang tua pada umumnya. Pemilih Pemula cenderung kritis, mandiri, independen, anti status quo atau tidak puas dengan kemapanan, pro perubahan dan sebagainya. Karakteristrik itu cukup kondusif untuk membangun komunitas pemilih cerdas dalam pemilu yakni pemilih yang memiliki pertimbangan rasional dalam menentukan pilihannya. Misalnya karena integritas tokoh yang dicalonkan partai politik, track record-nya atau program kerja yang ditawarkan.
Karena belum punya pengalaman memilih dalam pemilu, Pemilih Pemula perlu mengetahui dan memahami berbagai hal yang terkait dengan pemilu. Misalnya untuk apa pemilu diselenggarakan, apa saja tahapan pemilu, siapa saja yang boleh ikut serta dalam pemilu, bagaimana tata cara menggunakan hak pilih dalam pemilu dan sebagainya. Pertanyaan itu penting diajukan agar Pemilih Pemula menjadi pemilih cerdas dalam menentukan pilihan politiknya di setiap pemilu.
Dalam penghitungan suara pemilu, satu suara saja sangat berarti karena bisa mempengaruhi kemenangan politik. Apalagi suara yang berjumlah jutaan sebagaimana halnya yang dimiliki kalangan Pemilih Pemula. Itu sebabnya, dalam setiap pemilu, Pemilih Pemula menjadi “rebutan” berbagai kekuatan politik. Menjelang pemilu, partai politik atau peserta pemilu lainnya, biasanya membuat iklan atau propaganda politik yang menarik para Pemilih Pemula. Mereka juga membentuk komunitas kalangan muda dengan aneka kegiatan yang menarik anak-anak muda, khususnya Pemilih Pemula. Tujuannya agar para Pemilih Pemula tertarik dengan partai atau kandidat tersebut dan memberikan suaranya dalam pemilu untuk mereka sehingga mereka dapat mendulang suara yang signifikan dan meraih kemenangan.
Selain memiliki banyak kelebihan, Pemilih Pemula juga memiliki kekurangan, yakni belum memiliki pengalaman memilih dalam pemilu. Pemilu mendatang merupakan pengalaman pertama bagi pemilih pemula untuk menggunakan hak pilihnya. Karena belum punya pengalaman memilih dalam pemilu, pada umumnya banyak dari kalangan mereka yang belum mengetahui berbagai hal yang terkait dengan pemilihan umum. Mereka juga tidak tahu bahwa suaranya sangat berarti bagi proses politik di negaranya. Bahkan tidak jarang mereka enggan berpartisipasi dalam pemilu dan memilih ikut-ikutan tidak mau menggunakan hak pilihnya alias golongan putih (golput).
Temuan Lembaga Peduli Remaja (LPR) Kriya Mandiri Solo yang melakukan jajak pendapat pada Pemilih Pemula di Kota Solo tanggal 19 Februari 2009, menyatakan bahwa potensi golput Pemilih Pemula di Solo cukup tinggi. Dari 340 responden yang dipilih secara acak dari sepuluh SMA dan SMK di Solo, hanya 21,49% saja yang menyatakan siap memberikan suara. Sisanya 60,51% menyatakan belum yakin apakah akan memilih atau tidak, artinya berpotensi golput, dan 18% dengan tegas menyatakan tidak memilih.
Hasil survei juga menunjukkan 67,55% Pemilih Pemula belum mengetahui secara persis tahapan dan sistem pemilu. Tidak hanya itu, sebanyak 76,40% bahkan mengaku tidak tahu jumlah kontestan partai politik. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketertarikan pemilih pemula untuk berpartisipasi pada Pemilu 2009 lalu masih sangat rendah. Sikap ini terlihat dari 91,01% responden menyatakan tidak bersedia turut serta dalam kegiatan kampanye.
Oleh karena itu, penting bagi Pemilih Pemula mendapatkan pendidikan politik yang secara spesifik ditujukan bagi Pemilih Pemula. Dalam pendidikan Pemilih Pemula akan disampaikan arti penting suara Pemilih Pemula dalam pemilu, berbagai hal yang terkait dengan pemilu, seperti fungsi pemilu, sistem pemilu, tahapan pemilu, peserta pemilu, lembaga penyelenggara pemilu dan sebagainya. Tujuannya agar Pemilih Pemula memahami apa itu pemilu, mengapa perlu ikut pemilu dan bagaimana tatacara menggunakan hak pilih dalam pemilu. Setelah Pemilih Pemula memahami berbagai persoalan pemilu diharapkan Pemilih Pemula menjadi pemilih yang cerdas yakni pemilih yang sadar menggunakan hak pilihnya dan dapat memilih pemimpin yang berkualitas demi perbaikan masa depan bangsa dan negara.
4.      Menjadi Pemilih Pemula yang Kritis
Di tengah munculnya skeptisisme orang muda terhadap fenomena politik kontemporer Indonesia, harapan pun mengiringi eksistensi mereka terhadap suksesi kepemimpinan politik. Suara kelompok ini amat strategis dari aspek kuantitas maupun kualitas vote di Pileg dan Pilpres 2014. Maka kesadaran kritis pemilih pemula adalah vitamin yang empuk bagi terwujudnya pencarian kualitas kepemimpinan politik. Namun, disitulah letak soalnya. Bagaimana mendorong nalar dan sikap kritis mereka agar turut menentukan wajah kepemimpinan politik di 2014?
Ada banyak analisis politik yang menyatakan pemilih pemula cenderung apatis terhadap politik. Terpaan informasi yang amat banyak dan kemuakan mereka terhadap praktek politik yang korup, busuk dan nir-nilai membuat apatisme ini kian menjadi pembenaran. Tapi benarkan apatisme yang patut disandingkan? Atau jangan-jangan kesadaran nalar kritis tak pernah diulek instutusi demokrasi yang mengemban tanggung jawab pendidikan politik warga? Aspek inilah yang seharusnya menjadi perdebatan dan diskursus public.
Apatis Versus Partisipasi
Tantangan besar pengembangan pemikiran kritis terhadap pemilih pemula adalah mengubah sikap apatis menjadi partisipasi. Perasaan enggan dalam mengeluarkan pendapat konstruktif menjadi indikator sikap apatis. Sikap apatis bisa diproduksi dari beberapa kenyataan. Pertama, realitas pendidikan yang makin mahal membuat tidak banyak mereka yang dapat mencicipi manisnya, ranumnya dan geliatnya dunia kampus. Di sisi lain, kelompok ini juga diterpa virus hidup hedonis personal dalam rupa: memilih fashion mahal, HP canggih, dugem, dan sebagainya. Di titik ini, pemilih pemula diharapkan tidak melulu berkubang pada rutinitas hedonistik. Namun, menujukan sikap partisipasi dalam masyarakat. Partisipasi bertujuan membangun ketahanan masyarakat, sekaligus ikut menentukan hitam-putih negeri ini
Pendidikan Kritis
Pendidikan kritis mendorong pemuda ikut terlibat aktif dalam pilihan-pilhan yang terjadi di masyarakat. Keaktifan itu ditunjukkan dalam berbagai sumbangsih pemikiran dan tindakan. Keaktifan pemilih pemula harus dilengkapi dengan kemapuan menganalisis fenomena sosial. Analisa kasus melibatkan pemahaman yang menyeluruh. Analisa semacam ini disebut dengan analisisi sosial. Analisis sosial merupakan usaha untuk memperoleh gambaran utuh mengenai sebuah situasi sosial. Pengenalan itu dilengkapi dengan menggali lebih dalam hubungan-hubungan historis dan strukturalnya.
Dalam konteks menghadapi pemilu legislative dan pilpres 2014, maka analisis sosial dapat dikemas dengan mengajukan pertanyaan kritis yaitu (1) Seperti apa kualitas Caleg dan Capres yang layak dipilih? (2) Mengapa kita patut terlibat dalam pemilu 2014? (3) Bagaimana cara Caleg dan Capres merumuskan Indonesia yg lebih adil dan sejahtera? (4) Bagaimana Caleg dan Capres merangkai masa depan Indonesia? (5) Apa yang pernah Caleg dan Capres perbuat bagi publik? (6) Sejauh mana posisi mereka terhadap pluralism dan kesadaran planeter?
Pendek kata, analisis ini bisa mengajak pemilih pemula masuk ke realitas secara kritis. Harapannya, Mereka dapat mengajak masyarakat mengalami pencerahan berpikir dan keterlibatan praksis. Paradigma kritis menjadi poin penting dalam kemasan pendidikan politik. Paradigma kritis dapat melatih pemilih pemula untuk mampu mengidentifikasi politisi busuk dan korup, sembari memilih pemimpin yang baik dan amanah.
Pendidikan kritis itu akan melahirkan komunitas pemilih kritis. Jika di setiap desa, kampung, kecamatan dan kabupaten terbentuk komunitas-komunitas pemilih pemula yang kritis maka akan timbul rasa kesatuan untuk membangun Indonesia baru yang beradab dan berkeadilan. Semangat inilah yang perlu digarap oleh institusi-institusi demokrasi: Pers, LSM, Perguran Tinggi, Lembaga Keagamaan/adat, dan Parpol. Jika asa ini menyertai, maka harapan kita menjadikan pemilih pemula sebagai actor, motor, dan stimulator bagi terpilihnya pemimpin amanah bukanlah sebuah utopiah.
Mari memilih dengan Cerdas !!!
5.      Pohon Dan Rumah Jadi Sasaran

Menjelang Pemilu 2014, banyak Partai Politik (Parpol), caleg, Kader dan simpatisan memanfaatkan ketokohan dan membuat statement di media massa untuk menaikan simpatik dari masyarakat agar lebih mendukung caleg maupun parpolnya. Bukan hanya itu di sepanjang jalan, rumah-rumah dan pepohonan menjadi sasaran utama bagi caleg. Kebangkitan dan atau perubahan yang substansial adalah perubahan yang tidak dinodai oleh pragmatisme politik dan politik transaksional, tapi perubahan yang bersumber dari semangat dan cita-cita luhur bangsa serta dilandasi nilai-nilai perjuangan, keikhlasan dan pengabdian.

Inspirasi perubahan selalu berawal dari kegelisahan-kegelisahan akan kondisi negara yang tidak kunjung membawa kemakmuran, karena itu para aktivis mahasiswa dan generasi muda pemilih pemula yang masih mempunyai idealisme dan cita-cita besar tentang Indonesia tentu merasa gelisah dengan kondisi bangsa saat ini. Karena itu Pemilu 2014 adalah momentum yang tepat bagi perubahan bangsa.

Untuk itu, menyongsong kebangkitan dan perubahan yang lebih fundamental di era transisi demokrasi dan transisi kepemimpinan nasional harus siap mengusung, mengisi, dan mengawal kebangkitan serta perubahan menuju cita-cita besar Indonesia yang lebih baik dan beradab. Pemilih pemula adalah mereka yang berusia 17 tahun pada hari pencoblosan atau yang sudah menikah dan tercatat dalam daftar pemilih tetap. Pemilih pemula dalam setiap even pemilu nasional ataupun pemilukada selalu didominasi kalangan pelajar/siswa dan jumlah mereka relatif besar. Jumlah mereka yang besar membuat mereka sering menjadi rebutan partai politik maupun para politisi untuk mendongkrak perolehan suara.

Diperkirakan dalam setiap pemilu, jumlah pemilih pemula sekitar 20-30% dari keseluruhan jumlah pemilih dalam pemilu dan bisa menentukan kemenangan partai politik atau kandidat tertentu yang berkompetisi. Para pemilih pemula biasanya antusias untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS) karena untuk pertama kali menggunakan hak pilih mereka.

Jiwa muda dan coba-coba masih mewarnai alur berpikir para pemilih pemula, sebagian besar dari mereka hanya melihat momen pemilu sebagai ajang partisipasi dengan memberikan hak suara mereka kepada partai dan tokoh yang mereka sukai/gandrungi. Antusiasme mereka untuk datang ke TPS tidak bisa langsung diterjemahkan bahwa kesadaran politik mereka sudah tinggi. Kebanyakan pemilih pemula baru sebatas partisipasi parokial semata. Mereka masih membutuhkan pendewasaan politik sehingga mampu berpartisipasi aktif dan dapat berkontribusi positif dalam upaya menjaga dan menyukseskan demokratisasi. Pemilih pemula sering kali lebih cendrung memilih partai-partai besar dan mapan.

Jika kita tarik benang merah dari kerangka berpikir di atas setidaknya ada kecendrungan partisipasi pemilih pemula menuju partisipasi mobilisasi. Jumlah mereka yang besar dan emosi yang belum stabil membuat mereka rawan menjadi rebutan partai politik dan figur-figur yang bertarung dalam pemilu maupun pemilukada. Mereka kemudian hanya menjadi lumbung suara tanpa mendapatkan edukasi dan penyadaran politik dari parpol.

Potensi besar ini harus bisa dioptimalkan agar partisipasi mereka tak hanya sebatas partisipasi parokial tanpa kontribusi untuk proses demokratisasi. Partai politik seharusnya tidak hanya berpikir bagaimana mendulang perolehan suara, lebih dari itu parpol harus memikirkan pula bagaimana menumbuhkan kesadaran politik bagi anak muda yang nanti suatu saat juga akan menjadi kader-kader mereka.

Text Widget

Copyright © Jejak Senja | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com