1. Sosialisasi
Kegiatan sosialisasi ini berlangsung
di Kampus SMAN 3 Lau Maros, dalam acara pembukaan PORAKES (Porseni Antar Kelas)
yang di adakan oleh OSIS SMAN 3 Lau Maros. PORAKES ini bertemakan “ SEHAT DENGAN OLAHRAGA, BERKREASI DENGAN SENI, BERIMTAQ
DENGAN AGAMA ”
, di mana dalam kegiatan ini di dukung oleh beberapa media, diantaranya : Fajar TV, Maros INFO, Marfografi, Tribun
Timur, Tabloit Target, Dan KLJI
Maros, hal ini di hadiri oleh banyak pengunjung, , , yang menggelitik untuk
sosialisasi pemilih pemula tentang pentingnya aspirasi rakyat bagi legalitas
penyelenggara pemerintahan melalui pemilu dan dilanjutkan dengan simulasi
pemungutan suara oleh perwakilan peserta. Dengan adanya kegiatan ini diharapkan
para pemilih pemula dapat memberikan suaranya dengan cerdas karena satu pilihan
menentukan nasib bangsa di masa depan.
2. Pemuda dan suksesnya pemilu 2014
Generasi
muda, terutama pemilih pemula menjadi bagian penting untuk kemajuan dan
kesejahteraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena mereka adalah
pelaku demokrasi di masa yang akan datang.
Karakter
generasi muda dalam pemilu sebagai pemilih pemula diantaranya yaitu karakter
politiknya yang masih polos, dinilai relatif belum terpola dan merupakan
pemilih aktif. Mereka cenderung berpikir terbuka (open minded), meskipun di
sisi lain tetap berkeinginan kritis, kosmopolitan, dan mengikuti sejumlah perkembangan
politik nasional. Sehingga menarik untuk dijadikan ajang perebutan.
Terkait
hal tersebut Pemilu 2014 menjadi salah satu tumpuan untuk membuktikan bahwa
generasi muda memiliki kekuatan strategis di dalamnya. Pemilih pemula pada
Pemilu 2014 diperkirakan 30,2 juta orang. Jadi, ada sekitar 17 persen di antara
sekitar 175 juta pemilih yang akan memilih untuk pertama kali pada tahun 2014.
Jumlah ini sangat signifikan dari segi politik pemungutan suara (electoral
politics). Bila pemilih pemula digabung dengan pemilih muda lain yang berusia
di bawah 30 tahun, jumlahnya pada 2014 menjadi dua kali lipat, sekitar 34
persen.
Pemilu
2014 nantinya akan menghadapi beberapa tantangan diantaranya adalah
ketidakpercayaan publik kepada parpol, melemahnya kedekatan pemilih dengan
parpol, tingginya pemilih yang belum menentukan pilihan hingga turunnya
partisipasi pemilih.
Generasi
muda sebagai pemilih pemula adalah pemilih masa depan yang harus digarap
menjadi pemilih yang berstruktur positif yang artinya adalah pemilih yang
diberikan pendidikan menjadi sosok pemilih yang mengerti “hak dan kewajiban”
demokratis. Sehingga jika dia harus berpartisipasi, maka sang pemilih pemula,
memahami partisipasi politiknya bukanlah partisipasi kosong, habis mencoblos
selesai sudah.
Dalam
konteks inilah terletak urgensi pendidikan politik, bukan pengerahan atau
mobilisasi politik. Pendidikan politik yang konstruktif dan benar menjadi
sesuatu yang mutlak untuk pemilih pemula. Mengapa demikian, karena di
sinilah salah satu proses pembentukan karakter politik seorang anak
bangsa ditentukan.
Maka,
memahami sikap politik kaum muda dan ke arah mana angin politik mereka bertiup
menjadi sangat penting, baik untuk praktis politik maupun untuk pendidikan dan
pembangunan politik di masa akan datang. Tentu semua berharap agar pemilih muda
memiliki sikap politik yang tegas, yaitu menolak politik pencitraan, menolak
figur yang popular secara instan dan menolak praktik politik uang.
3. Potensi Besar & Sosialisasi Program yang belum
merata
Indonesia memasuki
tahun politik pada 2014. Disebut tahun politik antara lain karena Indonesia
akan melaksanakan sejumlah kegiatan politik yang melibatkan setidaknya rakyat
berusia 17 tahun ke atas dan berujung pada pemilihan anggota legislatif
(anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah/Senator dan DPRD) dan
kabinet pemerintahan baru (Presiden, Wakil Presiden dan para menteri).
Ya, di tahun 2014, Indonesia
menggelar pesta demokrasi. Pada bulan April 2014 mendatang, masyarakat
Indonesia akan secara langsung memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD untuk periode
jabatan 2014 – 2018. Sedangkan di bulan Juli 2014, masyarakat Indonesia akan
memilih Presiden dan Wakil Presiden yang akan menggantikan Presiden dan Wakil
Presiden RI saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono.
Dari data yang dirilis KPU,
jumlah total pemilih yang telah terdaftar untuk pemilu tahun 2014 adalah
sejumlah 186.612.255 orang penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut 20-30%nya
adalah Pemilih Pemula. Dalam pendidikan politik, kelompok muda yang baru
pertama kali akan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu disebut dengan Pemilih
Pemula. Pemilih Pemula ini terdiri dari mahasiswa dan siswa SMA yang akan
menggunakan hak pilihnya pertama kali di tahun 2014 nanti.
Pada Pemilu 2004, jumlah Pemilih
Pemula sekitar 27 juta dari 147 juta pemilih. Pada Pemilu 2009 sekitar 36 juta
pemilih dari 171 juta pemilih. Data BPS 2010: Penduduk usia 15-19 tahun:
20.871.086 orang, usia 20-24 tahun: 19.878.417 orang. Dengan demikian, jumlah
pemilih muda sebanyak 40.749.503 orang. Dalam pemilu, jumlah itu sangat besar
dan bisa menentukan kemenangan partai politik atau kandidat tertentu yang
berkompetisi dalam pemilihan umum.
Bagi mereka yang berusia 17-21
tahun, memilih dalam Pemilu merupakan pengalaman pertama kali. Ada juga
kalangan yang menyebutkan bahwa TNI/Polri yang baru pensiun dan kembali menjadi
warga sipil yang memiliki hak memilih, juga dikategorikan sebagai Pemilih
Pemula. Ketika menjadi anggota TNI/Polri aktif, mereka tidak punya hak pilih
dalam pemilu. Setelah memasuki usia pensiun, barulah mereka memiliki hak
memilih dan dipilih dalam pemilu.
Pada dasarnya setiap warga
negara memiliki hak politik untuk memilih dalam pemilu. Akan tetapi, hak itu
harus diatur dengan cara menetapkan syarat tertentu agar terjadi keteraturan
dalam proses politik. Syarat tersebut antara lain merupakan WNI yang berusia
minimal 17 tahun, sudah/pernah menikah, tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya,
terdaftar sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), bukan anggota
TNI/Polri aktif, tidak sedang dicabut hak pilihnya, khusus untuk Pemilukada,
calon pemilih harus berdomisili sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan di daerah
yang bersangkutan.
Di antara syarat tersebut, yang
paling penting mendapat perhatian adalah harus terdaftar sebagai pemilih. Untuk
terdaftar sebagai pemilih, Pemilih Pemula harus mempunyai KTP. Meskipun sudah
memenuhi syarat-syarat untuk menjadi pemilih namun tidak terdaftar sebagai
pemilih, Pemilih Pemula tidak bisa ikut memilih. Jika tidak terdaftar sebagai
pemilih, Pemilih Pemula harus melapor pada Petugas Pemungutan Suara memalui RT
atau RW tempat tinggal pemilih.
Karakteristik Berbeda
Secara psikologis, Pemilih Pemula memiliki karakteristik yang berbeda dengan
orang- orang tua pada umumnya. Pemilih Pemula cenderung kritis, mandiri,
independen, anti status quo atau tidak puas dengan kemapanan, pro perubahan dan
sebagainya. Karakteristrik itu cukup kondusif untuk membangun komunitas pemilih
cerdas dalam pemilu yakni pemilih yang memiliki pertimbangan rasional dalam
menentukan pilihannya. Misalnya karena integritas tokoh yang dicalonkan partai
politik, track record-nya atau program kerja yang ditawarkan.
Karena belum punya pengalaman
memilih dalam pemilu, Pemilih Pemula perlu mengetahui dan memahami berbagai hal
yang terkait dengan pemilu. Misalnya untuk apa pemilu diselenggarakan, apa saja
tahapan pemilu, siapa saja yang boleh ikut serta dalam pemilu, bagaimana tata
cara menggunakan hak pilih dalam pemilu dan sebagainya. Pertanyaan itu penting
diajukan agar Pemilih Pemula menjadi pemilih cerdas dalam menentukan pilihan
politiknya di setiap pemilu.
Dalam penghitungan suara pemilu,
satu suara saja sangat berarti karena bisa mempengaruhi kemenangan politik.
Apalagi suara yang berjumlah jutaan sebagaimana halnya yang dimiliki kalangan
Pemilih Pemula. Itu sebabnya, dalam setiap pemilu, Pemilih Pemula menjadi
“rebutan” berbagai kekuatan politik. Menjelang pemilu, partai politik atau
peserta pemilu lainnya, biasanya membuat iklan atau propaganda politik yang
menarik para Pemilih Pemula. Mereka juga membentuk komunitas kalangan muda
dengan aneka kegiatan yang menarik anak-anak muda, khususnya Pemilih Pemula.
Tujuannya agar para Pemilih Pemula tertarik dengan partai atau kandidat
tersebut dan memberikan suaranya dalam pemilu untuk mereka sehingga mereka
dapat mendulang suara yang signifikan dan meraih kemenangan.
Selain memiliki banyak
kelebihan, Pemilih Pemula juga memiliki kekurangan, yakni belum memiliki
pengalaman memilih dalam pemilu. Pemilu mendatang merupakan pengalaman pertama
bagi pemilih pemula untuk menggunakan hak pilihnya. Karena belum punya
pengalaman memilih dalam pemilu, pada umumnya banyak dari kalangan mereka yang
belum mengetahui berbagai hal yang terkait dengan pemilihan umum. Mereka juga
tidak tahu bahwa suaranya sangat berarti bagi proses politik di negaranya.
Bahkan tidak jarang mereka enggan berpartisipasi dalam pemilu dan memilih
ikut-ikutan tidak mau menggunakan hak pilihnya alias golongan putih (golput).
Temuan Lembaga Peduli Remaja
(LPR) Kriya Mandiri Solo yang melakukan jajak pendapat pada Pemilih Pemula di
Kota Solo tanggal 19 Februari 2009, menyatakan bahwa potensi golput Pemilih
Pemula di Solo cukup tinggi. Dari 340 responden yang dipilih secara acak dari
sepuluh SMA dan SMK di Solo, hanya 21,49% saja yang menyatakan siap memberikan
suara. Sisanya 60,51% menyatakan belum yakin apakah akan memilih atau tidak,
artinya berpotensi golput, dan 18% dengan tegas menyatakan tidak memilih.
Hasil survei juga menunjukkan
67,55% Pemilih Pemula belum mengetahui secara persis tahapan dan sistem pemilu.
Tidak hanya itu, sebanyak 76,40% bahkan mengaku tidak tahu jumlah kontestan
partai politik. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketertarikan pemilih pemula
untuk berpartisipasi pada Pemilu 2009 lalu masih sangat rendah. Sikap ini
terlihat dari 91,01% responden menyatakan tidak bersedia turut serta dalam
kegiatan kampanye.
Oleh karena itu, penting bagi
Pemilih Pemula mendapatkan pendidikan politik yang secara spesifik ditujukan
bagi Pemilih Pemula. Dalam pendidikan Pemilih Pemula akan disampaikan arti
penting suara Pemilih Pemula dalam pemilu, berbagai hal yang terkait dengan
pemilu, seperti fungsi pemilu, sistem pemilu, tahapan pemilu, peserta pemilu,
lembaga penyelenggara pemilu dan sebagainya. Tujuannya agar Pemilih Pemula
memahami apa itu pemilu, mengapa perlu ikut pemilu dan bagaimana tatacara
menggunakan hak pilih dalam pemilu. Setelah Pemilih Pemula memahami berbagai
persoalan pemilu diharapkan Pemilih Pemula menjadi pemilih yang cerdas yakni
pemilih yang sadar menggunakan hak pilihnya dan dapat memilih pemimpin yang
berkualitas demi perbaikan masa depan bangsa dan negara.
4. Menjadi Pemilih Pemula yang Kritis
Di tengah munculnya skeptisisme orang muda terhadap fenomena
politik kontemporer Indonesia, harapan pun mengiringi eksistensi mereka
terhadap suksesi kepemimpinan politik. Suara kelompok ini amat strategis dari
aspek kuantitas maupun kualitas vote di Pileg dan Pilpres 2014. Maka kesadaran
kritis pemilih pemula adalah vitamin yang empuk bagi terwujudnya pencarian
kualitas kepemimpinan politik. Namun, disitulah letak soalnya. Bagaimana
mendorong nalar dan sikap kritis mereka agar turut menentukan wajah
kepemimpinan politik di 2014?
Ada
banyak analisis politik yang menyatakan pemilih pemula cenderung apatis
terhadap politik. Terpaan informasi yang amat banyak dan kemuakan mereka
terhadap praktek politik yang korup, busuk dan nir-nilai membuat apatisme ini
kian menjadi pembenaran. Tapi benarkan apatisme yang patut disandingkan? Atau
jangan-jangan kesadaran nalar kritis tak pernah diulek instutusi demokrasi yang
mengemban tanggung jawab pendidikan politik warga? Aspek inilah yang seharusnya
menjadi perdebatan dan diskursus public.
Apatis Versus Partisipasi
Tantangan
besar pengembangan pemikiran kritis terhadap pemilih pemula adalah mengubah
sikap apatis menjadi partisipasi. Perasaan enggan dalam mengeluarkan pendapat
konstruktif menjadi indikator sikap apatis. Sikap apatis bisa diproduksi dari
beberapa kenyataan. Pertama, realitas pendidikan yang makin mahal membuat tidak
banyak mereka yang dapat mencicipi manisnya, ranumnya dan geliatnya dunia
kampus. Di sisi lain, kelompok ini juga diterpa virus hidup hedonis personal
dalam rupa: memilih fashion mahal, HP canggih, dugem, dan sebagainya. Di titik
ini, pemilih pemula diharapkan tidak melulu berkubang pada rutinitas
hedonistik. Namun, menujukan sikap partisipasi dalam masyarakat. Partisipasi
bertujuan membangun ketahanan masyarakat, sekaligus ikut menentukan hitam-putih
negeri ini
Pendidikan Kritis
Pendidikan
kritis mendorong pemuda ikut terlibat aktif dalam pilihan-pilhan yang terjadi
di masyarakat. Keaktifan itu ditunjukkan dalam berbagai sumbangsih pemikiran
dan tindakan. Keaktifan pemilih pemula harus dilengkapi dengan kemapuan
menganalisis fenomena sosial. Analisa kasus melibatkan pemahaman yang
menyeluruh. Analisa semacam ini disebut dengan analisisi sosial. Analisis
sosial merupakan usaha untuk memperoleh gambaran utuh mengenai sebuah situasi
sosial. Pengenalan itu dilengkapi dengan menggali lebih dalam hubungan-hubungan
historis dan strukturalnya.
Dalam
konteks menghadapi pemilu legislative dan pilpres 2014, maka analisis sosial
dapat dikemas dengan mengajukan pertanyaan kritis yaitu (1) Seperti apa
kualitas Caleg dan Capres yang layak dipilih? (2) Mengapa kita patut terlibat
dalam pemilu 2014? (3) Bagaimana cara Caleg dan Capres merumuskan Indonesia yg
lebih adil dan sejahtera? (4) Bagaimana Caleg dan Capres merangkai masa depan
Indonesia? (5) Apa yang pernah Caleg dan Capres perbuat bagi publik? (6) Sejauh
mana posisi mereka terhadap pluralism dan kesadaran planeter?
Pendek
kata, analisis ini bisa mengajak pemilih pemula masuk ke realitas secara
kritis. Harapannya, Mereka dapat mengajak masyarakat mengalami pencerahan
berpikir dan keterlibatan praksis. Paradigma kritis menjadi poin penting dalam
kemasan pendidikan politik. Paradigma kritis dapat melatih pemilih pemula untuk
mampu mengidentifikasi politisi busuk dan korup, sembari memilih pemimpin yang
baik dan amanah.
Pendidikan
kritis itu akan melahirkan komunitas pemilih kritis. Jika di setiap desa,
kampung, kecamatan dan kabupaten terbentuk komunitas-komunitas pemilih pemula
yang kritis maka akan timbul rasa kesatuan untuk membangun Indonesia baru yang
beradab dan berkeadilan. Semangat inilah yang perlu digarap oleh institusi-institusi
demokrasi: Pers, LSM, Perguran Tinggi, Lembaga Keagamaan/adat, dan Parpol. Jika
asa ini menyertai, maka harapan kita menjadikan pemilih pemula sebagai actor,
motor, dan stimulator bagi terpilihnya pemimpin amanah bukanlah sebuah utopiah.
Mari memilih dengan Cerdas !!!
5.
Pohon
Dan Rumah Jadi Sasaran
Menjelang Pemilu 2014, banyak
Partai Politik (Parpol), caleg, Kader dan simpatisan memanfaatkan ketokohan dan
membuat statement di media massa untuk menaikan simpatik dari masyarakat agar
lebih mendukung caleg maupun parpolnya. Bukan hanya itu di sepanjang jalan,
rumah-rumah dan pepohonan menjadi sasaran utama bagi caleg. Kebangkitan dan
atau perubahan yang substansial adalah perubahan yang tidak dinodai oleh
pragmatisme politik dan politik transaksional, tapi perubahan yang bersumber
dari semangat dan cita-cita luhur bangsa serta dilandasi nilai-nilai
perjuangan, keikhlasan dan pengabdian.
Inspirasi perubahan selalu berawal dari kegelisahan-kegelisahan akan kondisi
negara yang tidak kunjung membawa kemakmuran, karena itu para aktivis mahasiswa
dan generasi muda pemilih pemula yang masih mempunyai idealisme dan cita-cita
besar tentang Indonesia tentu merasa gelisah dengan kondisi bangsa saat ini.
Karena itu Pemilu 2014 adalah momentum yang tepat bagi perubahan bangsa.
Untuk itu, menyongsong kebangkitan dan perubahan yang lebih fundamental di era
transisi demokrasi dan transisi kepemimpinan nasional harus siap mengusung,
mengisi, dan mengawal kebangkitan serta perubahan menuju cita-cita besar Indonesia
yang lebih baik dan beradab. Pemilih pemula adalah mereka yang berusia 17 tahun
pada hari pencoblosan atau yang sudah menikah dan tercatat dalam daftar pemilih
tetap. Pemilih pemula dalam setiap even pemilu nasional ataupun pemilukada
selalu didominasi kalangan pelajar/siswa dan jumlah mereka relatif besar.
Jumlah mereka yang besar membuat mereka sering menjadi rebutan partai politik
maupun para politisi untuk mendongkrak perolehan suara.
Diperkirakan dalam setiap pemilu, jumlah pemilih pemula sekitar 20-30% dari
keseluruhan jumlah pemilih dalam pemilu dan bisa menentukan kemenangan partai
politik atau kandidat tertentu yang berkompetisi. Para pemilih pemula biasanya
antusias untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS) karena untuk pertama
kali menggunakan hak pilih mereka.
Jiwa muda dan coba-coba masih mewarnai alur berpikir para pemilih pemula,
sebagian besar dari mereka hanya melihat momen pemilu sebagai ajang partisipasi
dengan memberikan hak suara mereka kepada partai dan tokoh yang mereka sukai/gandrungi.
Antusiasme mereka untuk datang ke TPS tidak bisa langsung diterjemahkan bahwa
kesadaran politik mereka sudah tinggi. Kebanyakan pemilih pemula baru sebatas
partisipasi parokial semata. Mereka masih membutuhkan pendewasaan politik
sehingga mampu berpartisipasi aktif dan dapat berkontribusi positif dalam upaya
menjaga dan menyukseskan demokratisasi. Pemilih pemula sering kali lebih
cendrung memilih partai-partai besar dan mapan.
Jika kita tarik benang merah dari kerangka berpikir di atas setidaknya ada
kecendrungan partisipasi pemilih pemula menuju partisipasi mobilisasi. Jumlah
mereka yang besar dan emosi yang belum stabil membuat mereka rawan menjadi
rebutan partai politik dan figur-figur yang bertarung dalam pemilu maupun
pemilukada. Mereka kemudian hanya menjadi lumbung suara tanpa mendapatkan
edukasi dan penyadaran politik dari parpol.
Potensi besar ini harus bisa dioptimalkan agar partisipasi mereka tak hanya
sebatas partisipasi parokial tanpa kontribusi untuk proses demokratisasi. Partai
politik seharusnya tidak hanya berpikir bagaimana mendulang perolehan suara,
lebih dari itu parpol harus memikirkan pula bagaimana menumbuhkan kesadaran
politik bagi anak muda yang nanti suatu saat juga akan menjadi kader-kader
mereka.